dari CERITA, TUTUR, TAMBO di Masyarakat Alam Pauah Duo Nan Batigo

Oleh : Ir. Gamal Yusaf, Sutan Batuah.

PENDAHULUAN

Semenjak tahun 2003, tepatnya setelah Lokakarya Adat dan Budaya Minangkabau di Aula Timur ITB Bandung (23-24 Agustus 2003) yang dilaksanakan oleh PKM Jawa Barat – Bandung dan GEBU MINANG, kami dari Yayasan Tuah Nagari dan IKASUPA Jakarta dan Sekitarnya Ikut serta dalam acara tersebut, kami merasa terpanggil untuk mengenal lebih dalam tentang Adat Budaya Alam Surambi Sungai Pagu, yang dalam lokakarya tersebut Alam Surambi Sungai Pagu tidak dikenal oleh peserta lokakarya yang berasal dari seluruh daerah perwakilan yang ada di Sumatera Barat dan Perantau di Jakarta dan Bandung, lebih miris lagi, salah seorang pemakalah yang berasal dari Perguruan Tinggi Negeri UNAND Padang, seorang ahli Antropogi, yaitu kanda DR. Nursirwan Effendi, MM. (Kepala BKSNT* – Padang) juga tidak mengenal sama sekali, dimana, dan apa itu Alam Surambi Sungai Pagu.

Berawal dari situ, Pembina Yayasan Tuah Nagari** dan Ketua Umum IKASUPA Jakarta*** membentuk kelompok kecil melakukan dialog-dialog dan diskusi bersama tokoh-tokoh Masyarakat yang berada di Jakarta secara rutin satu kali dalam sebulan di Rumah Makan Gurih Jakarta Selatan dan Gedung Bidakara Jakarta untuk menggali sumber-sumber pengetahuan tentang budaya dan wacana kedepan untuk mangapungkan Alam Surambi Sungai Pagu ke permukaan, sehingga kasus di Lokakarya tersebut tidak terulang lagi.

Bermacam kegiatan yang monumental telah kami laksanakan, antara lain dialog dengan Penghulu Adat dan Ninik Mamak di Alam Surambi Sungai Pagu di Kampus WIDYASWARA INDONESIA, Dialog dengan tokoh-tokoh Adat dan Masyarakat di Perantauan (Khususnya Jakarta), Mengundang dan Mengunjungi Tokoh Adat dari Alam Surambi Sungai Pagu seperti Tuanku Rajo Bagindo serta jajarannya, Tuanku Rajo Malenggang serta jajarannya, Tuanku Rajo Batuah serta jajarannya, Dialog dengan Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah serta jajarannya, disamping kegiatan sosial kemasyarakatan dikampung halaman Alam Surambi Sungai Pagu berupa, Proyek percontohan Pembangkit Listrik Micro Hydro di Banuaran – Alam Pauah Duo, Percontohan Bio Gas dan Pengembangan Jamur Tiram di SMA 1 Solok Selatan, Penggunaan Pupuk Tablet untuk meningkatkan hasil panen Padi di Banuaran Alam Pauah Duo, Seminar tentang Alam Surambi Sungai Pagu dan Peluncuran Buku Rumah Gadang Falsafah Pembangunan dan Kegunaannya di Hotel Bumi Minang Padang, hasil karya Kanda Ir. Hasmurdi Hasan, Kunjungan Tokoh-tokoh Nasional ke Alam Surambi Sungai Pagu – Solok Selatan dan menjadi fasilitator Media Cetak dan Televisi Nasional untuk meliput keindahan alam dan budaya di Alam Surambi Sungai Pagu (Solok Selatan). Pemugaran Masjid Lama Kurang Aso Anam Puluah di Pasirtalang bersama BP3 (Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala) Jakarta dan BP3 Pagaruyuang. selama 4 (emapat) tahun (2003-2006) berturut-turut intensif melaksanakan kegiatan tersebut. Disamping itu selalu dilaporkan ke Masyarakat dalam bentuk tulisan bersama Warta IKASUPA yang terbit tiga bulan sekali. Banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang kami lakukan selama kurun waktu itu, bahkan sampai sekarang misi tersebut tetap berjalan secara berkala disaat ada pertemuan dengan Tokoh-tokoh di Jakarta.
Dalam kesempatan itu pula kami, (Ir. Hasmurdi Hasan, Johni Ersal, Dt. Rajo Pangulu, dan Ir. Gamal Yusaf, Sutan. Batuah) mengambil kesempatan berdialog secara khusus dengan tokoh-tokoh adat sebagai praktisi yang memahami dan mengerti masalah adat dan budaya di Alam Surambi Sungai Pagu.

Khusus di Alam Pauah Duo, penulis berdialog dengan Tokoh Adatnya seperti Kanda Tabrani, Dt. Rajo Mulia, S.Pd (tak rajo kaganti rajo), J. A. Nasir, Dt. Rajo Mantari, A.MA (Camin Taruih di Alam Pauah Duo), beserta tokoh masyarakatnya. Dari situ penulis coba mengumpulkan dan menyatukan semua cerita (tutur) dari sumber-sumber hidup tersebut. Berbagai ragam dan versi dari cerita dan tutur tersebut, namun penulis coba menarik benang merah sejarah untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. diantaranya tulisan yang pernah terbit antara lain ;. Quovadish Sungai Pagu, Cerita Legenda Syeh Maulana Sofi dan Masjid Kurang Aso Anam Puluah, Taratik, Nasib si Daun Kunyik jo Daun Asam, Mamabantai Kabau Nan Gadang di Alam Pauah Duo nan Batigo, dan lain-lain yang belum rampung penulisannya. Sebagian juga pernah terbit pada Warta IKASUPA dan Majalah TITIAN dan http://www.bandalakun.co.cc. dan http://www.solok-selatan.com

Asal Usul dan Urak Uraian Alam Pauah Duo ini masih jauh dari sempurna, banyak yang perlu diperbaiki, ditambah atau dikurangi dan dikoreksi untuk mencapai suatu titik temu yang mendekati kebenaran dari segala sudut pandang, karena tanpa tanggapan dan kritikan yang membangun, khasanah ini akan buntu. Penulis dengan terbuka untuk menerima kritikan dan masukan yang positif dan berharga, baik berupa buku-buku atau tulisan sejarah dan budaya masyarakat khususnya cakupan Alam Surambi Sungai Pagu. Tanggapan dan kritikan baik berupa bahan tulisan, rekaman cerita/tutur tersebut dapat dikirim melalui e-mail ganyang_gamal@yahoo.com atau ke alamat Mitra Abadi Printing Komplek. PLN Klender No. 15 Jl. Pahat RT. 010/02 Jatinegara. Jakarta 13930.

Sebelumnya penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala kritikan dan saran yang pembaca sampaikan dan mohon ma’af bila ada kekeliruan dan kesalahan baik cara penyampaian, tata tulisan yang kurang memenuhi kaedah Bahasa Indonesia yang benar, itu mutlak kekurangan penulis.

Maaf kapado nan tuo – tuo,
baiek nan ado maupun nan tiado,
karano kito kan mambaco sajarah Nagari kito,
dan akan manyabuik dan mamaki namo niniak kito,
asa usuanyo kito barado,
ulu pusako nan kito warisi.

Kok umua baru satahun jaguang,
kok darah baru satampuak pinang,
pangalaman kurang dalam bagaua
tolong tunjuak ajari nak tarang jalan kamuko

LATAR BELAKANG

Asal kata Alam Pauah Duo terdiri dari tiga suku kata yaitu Alam, Pauah dan Duo. Yang disebut dengan Alam disini adalah suatu wilayah adat yang segala sesuatu keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pemuka adatnya tidak perlu meminta pertimbangan dan persetujuan dari wilayah adat lain (Alam Surambi Sungai Pagu), dan merupakan berdiri sendiri dengan adat (aturan dan peraturan) yang berlaku di wilayah adat itu sendiri. Pauah adalah berasal dari kata benda yaitu Paruh (mulut) pada burung seperti pada kata pepatah “kusuik bulu pauah manyalasaikan” (bila bulu burung tersebut kusut maka paruhnya yang akan merapikan kembali) jadi fungsinya seperti kata pepatah tersebut, yang artinya bila ada permasalahan dan persengketaan dalam masyarakatnya maka pimpinannya yang akan menyelesaikan persoalan tersebut, sedangkan kata Duo yaitu merupakan jumlah dari nenek moyang/pimpinan dimasa itu ada dua orang seperti yang tersebut dalam Tambo adat Alam Surambi Sungai Pagu yaitu Inyiak Samiek dan Inyiak Similu Aie, maka disimpulkan bahwa arti dari Alam Puah Duo adalah : Suatu wilayah Adat yang dikuasai dan dipimpin oleh Dua orang Inyiak. Diasamping Inyiak Samiek dan Inyiak Similu Aie, mempunyai seorang dubalang yang namanya disebut Inyiak Sikok Sutan Majolelo.

GELOMBANG PERTAMA, INYIAK SAMIEK DAN INYIAK SIMILU AIE

Seperti yang telah dituturkan kepada penulis oleh Kanda Jamal Abdul Nasir, A.MA, Dt. Rajo Mantari yang berfungsi sebagai Camin Taruih di Alam Pauah Duo dari Suku Tigo Lareh. Nenek Moyang yang pertama kali datang dan tinggal menetap di Alam Surambi Sungai Pagu tepatnya di wilayah Pauah Duo adalah Inyiak Samiek dan Inyiak Similu Aie, yang ‘konon’ datang dari benua Mesir (Timur Tengah), kira-kira/sekitar ± 450 th SM, beliau datang untuk mencari wilayah baru (jembang) yang baik tempat tinggal atau menetap, dengan menelusuri Sungai Batang Hari dari muara ke hulunya, pada masa itu lebih gampang menelusuri sungai dari pada masuk kedalam hutan belantara, karena jalur sungai ini dapat ditempuh dengan mudah tanpa rintangan yang berat, rombongan ini adalah rombongan yang pertama datang. Untuk mengetahui suatu wilayah cocok atau tidaknya untuk ditempati, beliau membawa ‘air’ yang berasal dari sungai Nil (Mesir) dengan sebuah Kendi (wadah/tempat air), dimana air yang di temui akan ditimbang dengan air dalam Kendi tersebut. Bila air tersebut sama beratnya, maka wilayah tersebut cocok dan baik untuk tempat berdiam dan berkembang biak.

Rombongan ini menelusuri sungai tersebut sehingga sampai bertemu muara dua buah sungai/batang air (batang Bangko dan Batang Suliti), rombongan tersebut terus menelusuri batang Suliti sehingga bertemu wilayah yang agak datar dengan hamparan pasir yang luas (Pasir Talang sekarang) dimana pasir yang gemilang terhampar disepanjang sungai tersebut. Sampai disana rombongan ini berhenti dan istirahat, untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka menangkap ikan dengan alat penangkap ikan seperti tangguak yang disebut dengan Lapun, sebagian ada yang menyebut Lakun namun tujuan / artinya sama. Maka dalam sejarah Alam Surambi Sungai Pagu, wilayah pertama yang dihuni mereka sebut Banda Lapun/Lakun. Setelah diadakan penelitian dengan cara menimbang air dalam kendi dengan air yang ada di sana maka ternyata airnya tidak sama berat. Akhirnya mereka berpindah dari wilayah tersebut ke arah selatan, arah hilir Batang Suliti sehingga mereka bertemu dengan muara sungai yang pernah mereka temui sebelum sampai di Pasir Talang.

Ditelusuri pula sungai tersebut. dan diteliti/ditimbang pula airnya, hasilnya mulai agak mendekati berat air dalam kendi tadi sehingga dimudiek-i pula sungai yang satu ini dengan kondisi yang sangat rapat pohon dan semak belukar disekitar sungai tersebut, karena sangat rindangnya pepohonan sehingga mereka sebut kondisi saat itu dalam ungkapan :

kayu gadang basilek banyie,
rotannyo bajalingke,
bakuangnyo basingguang daun,
lagi samak lagi samun,

Yang kelihatan hanya lobang yang bisa ditempuh dengan cara manyaruak di sela-sela akar kayu dan rotan yang sangat lebat, menurut tuturan kanda Jamal Abdul Nasir, A.MA, Dt. Rajo Mantari, dari disinilah asal kata Batang Bangko adalah dari kodisi medan saat itu yang di tempuh, yaitu lubang ko (lobang ini).

Setelah beberapa jauh bertemu dengan muara sungai (di sekitar Benteang Koto Baru sekarang) Karena lakek jajak, maka mereka namai pula sungai ini dengan Batang Pulakek dan ditempuh pula (mudiek-i) sungai Batang Pulakek ini sehingga bertemu dengan anak sungai yang melintas (malinte), maka ditimbang pula air tersebut dengan air yang di dalam kendi, ternyata sama beratnya, akhirnya dimudiek-i anak sungai tersebut yang terakhir mereka beri nama dengan Batang Malinte Mudiek, dicari lokasi disekitar Batang Malinte Mudiek tadi, daerah yang baik untuk tempat menetap, jembang nan elok maka dibutlah koto yang sampai sekarang kampung tersebut terkenal dengan sebutan Koto Tuo di Jorong Taratak Bukareh. Memang dalam sejarah (ranji) yang dibacakan/diceritakan turun temurun di Alam Pauah Duo, Koto Tuo tersebut adalah sebagai kampung asal.

Setelah itu Inyiek nan Baduo berkembang dan mencari daerah untuk bercocok tanam atau kesawah, sampailah mereka menaruko sawah dan parak di daerah Pauah Duo, kearah tepi sungai Batang Bangko, tepatnya di daerah Ujung Jalan sekarang, disitu ada nama kampung Pauah Duo.

Sebelum ditempati wilayah Pauah Duo, ternyata daerah ini telah berpenghuni, konon ditempati oleh bangsa Jin yang dalam cerita/tuturan orang tua-tua (legenda) disebut dengan nama si Tatok, si Taraan, si Anja dan si Pilian atau disebut juga Inyiek Garagasi, atau sama dengan Raksasa kata mereka inilah yang menguasai wilayah tersebut. Dengan kekuatan rombongan Inyiek Samiek dan Inyiek Similu Aie beserta dubalangnya/pasukan yang bernama Inyiek Sikok Simajolelo, Inyiek Alang Palaba dan lain lain, mencoba mengusir dan melawan bangsa Inyiak Garagasi tadi, setelah Inyiak Garagasi tadi merasa dikalahkan oleh bangsa Manusia, maka Inyiek Garagasi marah dan akan menjadikan wilayah ini menjadi danau kembali seperti zaman purbakala, bumi alun basentak naiek, aie alun basentak turun, diambilnya sebuah bukit di sekitar Taratak Paneh (sebagian tutur menyebut seekor ular besar) dan dibawa ke arah Ambayan, disana tempat muara dua buah sungai Batang Suliti dan Batang Bangko yang melewati celah bukit batu. Sebelum sampai di disana ternyata hari sudah pagi, Ayam lah Bakukuak, Murai lah bakicau, kira-kira menjelang subuh, fajar terbit di timur tanda hari sudah siang, maka Inyiek Garagasi tadi lari tunggang langgang sehingga bukit yang dibawanya tadi ditinggalkannya di daerah Koto Baru yaitu Bukik Pamatang sekarang. Memang kalau diperhatikan fisik/bentuk secara visual Bukik Pamamatang mulai dari Rao-rao Koto Baru sampai ke Kapalo Bukik berkelok-kelok seperti badan ular, wallahu’alam !

Si Anja dan si Taraan lari ke daerah Lubuk Gadang dan meninggal disana, sedangkan si Tatok lari ke laut, konon mati di pulau Carocok/Mentawai dan si Pilian lari sampai ke Aceh yang dikejar oleh Inyiek Alang Palaba, bersama pasukannya.

GELOMBANG KEDUA, INYIAK NAN SALAPAN

Semakin lama wilayah ini makin berkembang, sawah taruko semakin luas karena keluarga Inyiek Samiek dan Inyiek Similu Aie semakin berkembang biak pula, sampai suatu ketika (kurun waktu yang sangat panjang) datang rombongan baru ke dekat persawahan mereka tersebut, yang disebut dengan Inyiek nan Salapan yang berjumlah delapan orang (kelompok?) yaitu :
1. Inyiek Nan Kawi Majo Ano (sebagai Kepala Rombongan)
2. Inyiek Ramang Itam
3. Inyiek Ramang Putieh
4. Inyiek Ratu Sarek
5. Inyiek Indalan
6. Inyiek Kumbo
7. Inyiek Ba’ani
8. Inyiek Candai Aluih

Rombongan Inyiak Nan Salapan ini menelusuri jejak dan lintasan yang sama dengan lintasan yang ditempuh oleh Inyiek Samiek jo Inyiek Similu Aie sebelumnya, orang yang pertama datang di Koto Tuo dan membuat Nagari Alam Pauah Duo. Samapai pada peertemuan Batang Suliti dan Batang Bangko, dilihat airnya agak sedikit keruh dan ditempuh ditelusuri pula mudiek Batang Bangko sehingga sampai di daerah Kapau sekarang. Dari sana terlihat oleh mereka kepulan asap di sebelah kiri (timur), maka mereka pahami bahwa disitu sudah ada orang yang tinggal dan bermukim.

Tanpa mengganggu ulayat/wilayah penduduk yang sudah ada disana, maka rombongan Inyiak Nan Salapan tadi membangun daerah baru pula di Banuaran (asal katanya Benua = tempat tinggal), mereka membuat kampung pula disana dengan taratak seperti (Taratak Paneh, Batu Bajarang, Batu Bangkai, Bulantiek dan lain lain disekitarnya).

Setelah mereka bergabung dan membangun kampung secara bersama-sama berdampingan dan bersosialisasi dengan penduduk yang sudah dahulu menetap di sana, kehidupan masyarakatnya aman damai dan tentram sampai terbentanglah sawah-sawah yang luas di dataran rendah antara Banuaran (di kaki bukit sebelah barat) dan Koto Tuo (di kaki bukit di sebelah timur) dan diantara persawahan mereka tadi mengalir dua sungai yaitu Batang Bangko dan Batang Pulakek, Padi manjadi Jaguang maupie, Taranak bakambang biak. Kedua kelompok hidup berdampingan dan berbaur satu sama lain dibawah pimpinan Inyiak Samiak dan Inyiak Similu Aie di Alam Pauah Duo dan Inyiek Nan Kawi Majo Ano di Banuaran, layaknya mereka bersaudara.

GELOMBANG KETIGA, INYIAK KURANG ASO ANAM PULUAH

Pada suatu masa (kurun waktu yang panjang) datang pula rombongan Inyiek Kurang Aso Anam Puluah yang membawa aturan – aturan adat dan budaya dari kerajaan Alam Minangkabau dari Pariangan Padang Panjang. ke Alam Surambi Sungai Pagu yang masa itu disebutnya Lakuak Banda Lakun. Rombongan ini datang dari arah utara menyelusuri Sungai Batang Hari ke arah selatan sehingga sampai pula rombongan ini di Pasir Talang, mereka tepati disana sudah ada tanda-tanda bekas kehidupan. Lama kelamaan mereka mengikuti jejak rombongan yang terdahulu yaitu rombongan Inyiak Samiak dan Inyiak Similu Aie dan rombongan Inyiak Nan Kewi Majo Ano. dan sampai di muara Batang Pulakek (Benteang) sudah ada kehidupan mereka jumpai masyarakat disana, dengan menyelusuri Batang Pulakek mereka sampai di Lubuak Jariang dan bertemu dengan dua orang pimpinan disana yaitu keturunan Inyiak Samiak dan Inyiak Similu Aie yang menguasai wilayah Alam Pauah Duo saat itu. Mereka mencoba mempengaruhi dan membujuk kedua orang tadi untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada mereka untuk wilayah baru, dan mereka yang mengatur segala sesuatunya. Tentu penduduk asli di Alam Pauah Duo tidak setuju dengan begitu saja sehingga sempat terjadi perselisihan anatara dua kelompok ini, yang konon pula terjadi pertempuran di sepanjang sungai Batang Pulakek sampai ke pertemuan dengan Batang Bangko, sehingga di muara Batang Pulakek ada kampung sampai sekarang diberi nama “Benteng” tempat atau garis batas pertahanan pasukan Inyiak Samiek dan Inyiak Similu Aie dibawah komando Inyiak Alang Palaba dan Inyiak Sikok Simajolelo. sampai di Lubuak Jariang dihadang dengan menghalangi jalan tersebut dengan pagar dan parit atau pematang, yang mereka sebut Ampang Labua. Kelompok Inyiak Kurang Aso Anam Puluah memasuki wilayah Alam Pauh Duo sedikit agak memaksa dan keras menerapkan aturan-aturan adat yang mereka bawa, sehingga orang Alam Pauah Duo merasa di-alahan wilayah kekuasaannya, tak dapat dihindari perang pun terjadi pada perbatasan ulayat.

Karena Alam Pauah Duo rakyatnya sedikit untuk melawan Kelompok Inyiak Kurang Aso Anam Puluah yang lebih banyak, maka perang tidak seimbang, hingga akhirnya orang Alam Pauah Duo melawan dengan cara gerilya, merusak dan mengganggu ketenangan hidup mereka, kalau malam, air sungai di keruhnya, diberi tuba (racun dari tumbuhan), dikeringkan/dialihkan (mengalah) dan sebagainya, sehingga sawah dan kehidupan mereka terganggu atau tidak tenang.

Lama kelamaan Pimpinan Rombongan Inyiak Kurang Aso Anam Puluah mengambil kebijakan untuk mengirim juru bahasa untuk berunding dan berdamai dengan orang di Alam Pauah Duo. Maka dikirim sebagai juru bahasa dan juru runding tersebut adalah Datuak Rajo Nan Baso (dari suku Bariang di Pasir Talang), supaya hidup ada ketenangan dan sawah serta ternak tidak diganggu. Maka dibuatlah suatu kesepakatan untuk tidak saling mengganggu antara kedua belah pihak. Sampai sekarang Dt. Rajo Nan Baso menetap di Alam Pauah Duo dan Batigo, menjadi suku Melayu.

Dalam rangka perdamaian inilah prosesi Mambantai Kabau Nan Gadang terjadi di Alam Surambi Sungai Pagu. Didalam prosesi tersebut tertuang perjanjian dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Prosesi Mambantai Kabau nan Gadang yang bertepatan dengan akan memulai turun kesawah dan menetapkan beberapa pantangan dan larangan pada wilayah-wilayah vital seperti hulu sungai dan hutan. Diamana dihulu sungai (Batang Bangko, Batang Suliti dan Batang Pulakek) tidak dibolehkan Mangalah, Manubo, bahkan ada beberapa Lubuak Larangan disana ikan-ikannya tidak boleh ditangkap sampai batas waktu yang ditentukan. Kalau ke hutan tidak boleh menebang kayu, mahelo rotan dan sebagainya. Bagi yang melanggar kesepakatan itu akan dimakan sumpah, dihukum baik secara adat maupun secara moril.

Dalam Prosesi Mambantai Kabau Nan Gadang ini pula disepakati bahwa kerbaunya untuk upacara ini dipilih dan ditentukan oleh orang Alam Pauah Duo Nan Batigo, dipatuik harganya oleh orang di Balun (Parik Gadang Diateh) wilayah Tuanku Rajo Bagindo dan Kerbau dibantai di Pasir Talang – Sungai Pagu. Dalam perundingan tersebut disepakati bahwa wilayah adat Alam Pauah Duo ada didalam Wilayah adat Alam Surambi Sungai Pagu.

Selesai Mambantai Kabau nan Gadang yang disebut Bantai Rajo-Rajo, maka ada pula Upacara Mambantai Kabau untuk penutup, disebut juga dalam Adat ,Bantai Amad’. Upacara ini dilakukan oleh penduduk di Batang Malinte Mudiak, Alam Pauah Duo nan Batigo, dihadiri juga oleh Rajo-rajo atau yang mawakili Beliau sarta Niniak Mamak, pelaksanaannya dilakukan di Balai-balai lapeh, badindiang bukik, ba atok langik dan ba lantai tanah. Di sinilah tempatnya utusan atau wakil Rajo manyampaikan titah berupa Perintah atau Larang Pantangan supaya di jauahi, di sini pula diumumkan peraturan diundangkan supaya seluruh masyarakat daerah Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo nan Batigo) :
1. Diumumkan Palakat Turun Kasawah selengkapnya menurut tata tertib yang disusun.
2. Diucapkan Amad yang isinya antara lain berbunyi :
a. Karimbo, kayu tak buliah di tabang, Rotan tak buliah dirangguikkan, Manau tak buliah di pancuang.
b. Kabatang Aie, Aie tak buliah di karuah, batu tak buliah di baliak, tabiang tak buliah diruntuh.
c. Ka Samak baluka, buah manih, buah masam tak buliah diambiak, dipanjek mudo dan lain lain.

3. Kok Pantang dilampaui, kok Amad dilansuangkan / dilangga :
– Ka bawah indak baurek
– Ka ateh indak bapucuak
– Di tangah tangah digiriak kumbang.
– Iduik sagan mati tak namuah, bak karakok tumbuah di batu

Upacara Bantai Amad ini dilaksanakan sabagai Upacara Penutup sebelum turun kesawah dan tiap Luhak atau Daerah kalompok sawah yang ada dalam lingkungan parik rantang Sungai Pagu boleh melakukan Upacara Mambantai Kabau, salo manyalo yaitu wakatunya antara Bantai Rajo dengan Bantai Amad, dengan jarak wakatu seminggu lebih kurang dengan tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan.

Pada masa padi yang ditanam di sawah selesai disiangi sawah mulai dikeringkan, maka mufakat pula orang Pauah Duo bersama orang bano Ka Ampek Suku dan Rajo Mulia untuk mengakhiri/menghapus berlakunya titah dan pantangan yang berlaku atau Amad indak balaku lai yang di sebut ‘ Mambubuih Amad’. Mambubuih Amad yang demikian rupa tidak boleh bebas dan leluasa untuk di cabut atau dilepas begitu saja, tapi harus di atur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum-hukum tersebut, sepanjang hukum adat yang berlaku di Alam Surambi Sungai Pagu sabagai padoman :“Kok ma-ampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai kalangik”

Dalam palaksanaan Mambubuih Amad tersebut diatur sedemikian rupa dengan tatakrama adat yang sangat tinggi, patatah patitih yang enak didengar namun mampunyai arti dan rahasia yang dalam, yaitu ‘ kok bubuih jaan maruntuah tabiang, kok ungkai jaan mararak bingkai”

Maka melakukan sasuatu harus diatur dan teratur menurut cara yang sabaik-baiknya, baik arah kabukik, hutan rimbo, ka anak aie, jo sungai sungai, juo ka sasok karapuan tingga, supaya jangan terjadi pelanggaran hak milik.
Demikian asal mulanya Mambantai Kabau nan Gadang yang dilakukan menjadi Adat Kabudayaan turun temurun setiap tahun mulai turun ka sawah di Alam Surambi Sungai Pagu.

Semenjak itu pula orang Alam Surambi Sungai Pagu bebas tinggal diwilayah tersebut dan diberi wilayah bagi yang tinggal disana oleh orang Alam Pauah Duo yang sampai sekarang disebut Urang Bano Ka Ampek Suku, orang Malayu Kampuang Dalam yang dipimpin oleh seorang Raja yaitu Datuak Rajo Mulia (tak Rajo ka ganti Rajo dalam Kaum Malayu Kampuang Dalam) yang disebut dengan adat salingka parik. (Ampek suku : Malayu, Panai, Kampai dan Tigolareh).

Semenjak adanya perdamaian tersebut Nagari ini disebut dengan Alam Pauah Duo nan Batigo, karena masyarakatnya dipimpin oleh Inyiak Samiek dengan bergelar sekarang Datuak Samad Dirajo, dan Inyiek Similu Aie yang bergelar Datuak Rajo Lelo. Datuak Rajo nan Baso memimpin Urang Bano Ka Ampek Suku yang berasal dari Alam Surambi Sungai Pagu. Maka tersebutlah dalam sejarah / tambo ‘Alam Pauah Duo nan Batigo’. bahwa Parahunyo; Alam Pauah Duo. Isinyo; Bano Ka Ampek Suku, artinya wilayah Alam Pauah Duo nan Batigo yang masyarakatnya adalah Bano Ka Ampek Suku yang dibawa oleh Inyiak Kurang Aso Anam Puluah.

KEPEMIMPINAN di ALAM SURAMBI SUNGAI PAGU

Setelah mereka masyarakat Lakuak Banda Lakun hidup berdampingan secara aman, damai, dan tentram, Padi masak, jaguang maupiah, taranak bakambang pulo, tentu saja berkat penataan adat yang dibawa oleh Inyiak Kurang Aso Anam Puluah. dalam masa itu pula terjadilah krisis kepemimpinan di Lakuak Banda Lakun. Terjadi perebutan kekuasaan antara Kepala Suku yang ada di Pasir Talang (Bano ka Ampek Suku)

Untuk menentukan yang akan dinobatkan sebagai Raja di Alam Surambi Sungai Pagu. Pada zaman sudah mulai berkembang dan kehidupan sudah terbentuk, damai, aman dan tentram maka dikirim utusan ke Pagaruyung untuk menentukan siapa yang akan memimpin Alam Surambi Sungai Pagu yang termasuk wilayah Alam Minang Kabau. Dikirim utusan dari Sungai Pagu. Dalam rombongan tersebut ada tiga orang dewasa, Sesampai di Pagaruyung Yang Dipertuan Raja Pagaruyuang bertanya kepada dunsanak mereka yang datang dari Alam Surambi Sungai Pagu apa maksud kedatangan mereka ke Pagaruyung, mereka menjawab, kami datang untuk memilih dan menentukan siapa yang patut/diangkat menjadi Raja Alam Surambi Sungai Pagu, kami diutus oleh anak kemenakan dari Alam Surambi Sungai Pagu para penghulu suku yang ada di Alam Surambi Sungai Pagu.

Untuk pemilihannya Yang Dipertuan memberikan beberapa syarat dan imbalan. Bagi yang berhasil memakaikan sebuah ‘Mahkota Kuala Qamar’ keatas kepalanya, maka dialah yang didaulat sebagai Raja Alam Surambi Sungai Pagu. Masing-masing melakukannya secara bergantian dan semua mendapat/diberi Gelar dan Kekuasaan sesuai dengan kemampuan mereka. Ketiga utusan tadi tidak ada yang berhasil memakaikan Mahkota tadi sampai di atas kepala mereka, ada yang hanya terangkat sampai sebatas pinggang ada yang hanya terangkat sebatas dada, dan ada yang sampai ke kepala tapi tidak terletak dengan baik (tidak sesuai). Sehingga Yang Dipertuan di Pagaruyung menyuruh kembali ke Banda Lakun rombongan yang bertiga tadi, namun masih belum tau siapa yang akan dinobatkan sebagai Raja Alam.

Setelah itu berangkat lagi utusan dari Sungai Pagu sebanyak empat orang termasuk dari Banuaran seorang anak kecil. mereka langsung menghadap Raja Alam Pagaruyung untuk mengangkat Mahkota tadi, namun tidak juga berhasil terpakai, ada yang mengangkat sampai pinggang, (diberi gelar Rajo Malenggang), ada yang mengangkat sampai di dada (diberi gelar Rajo Batuah), ada yang mengangkat sampai kekepala tapi tidak terletak dengan pas (di beri gelar Rajo Bagindo), kemudian Yang Dipertuan Rajo Pagaruyuang betanya kepada dunsanak yang bertiga.

“Kalau ndak salah dunsanak tadi datang ado barampek urang, ma nyo surang lai ?” menjawab salah satu dari mereka “Inyo anak ketek, mungkin inyo lapa”. Sesampai di Istana dia langsung ke dapur (rumah bulek) mencari makan dan minum, bersama bundo kanduang, “Kini nyo ado di rumah bulek sadang makan jo bundo kanduang, Yang mulia”.
“Kok lah salasai nyo makan surah kamari …” titah Raja. Kemudian hadirlah anak kecil tadi kehadapan Raja. Yang Dipertuan Raja Pagaruyung menyuruh pakai Mahkota tadi di kepalanya. Dengan enteng ‘anak kecil’ tersebut memakai Mahkota itu dengan sempurna di atas kepalanya. Maka terpurangah utusan yang bertiga tadi memandang ‘anak kecil’ tadi dengan gampangnya memakai Mahkota Kuala Qamar, terletak dengan pas (sesuai) maka dititahlah disaat itu bahwa yang menjadi Rajo Alam Surambi Sungai Pagu adalah si ‘anak kecil’ ini yang bernama Samsudin Sadewano, nan ba jangguik merah ba gombak putieh Sedangkan Rajo Malenggang diberi tugas sebagai pemegang hak dacing dan keamanan, Rajo Bagindo sebagai Raja Adat, dan Rajo Batuah sebagai Raja Ibadat. Sesuai dengan janji Yang Dipertuan Raja Pagaruyuang,. Akhirnya Yang Dipertuan Raja Pagaruyuang menyuruh mereka kembali ke Alam Surambi untuk memimpin anak kemenakan mereka.

Sesampai di Alam Surambi Sungai Pagu, Utusan yang bertiga tidak yakin dan tidak percaya, masa ‘anak kecil’ tersebut yang akan memerintah kita di Alam Surambi…? dan Kenapa mereka tidak bisa mengangkat Mahkota Kuala Qamar tersebut…?

Karena ketidak senangan dari utusan yang bertiga tadi, Raja Alam Surambi Sungai Pagu tetap di anggap sebagai ‘anak kecil’ yang belum bisa apa-apa, sehingga untuk menjaga tidak terjadi perselisihan antara mereka berdunsanak, beliau Inyiek Samsudin Sadewano bersama beberapa orang dubalang pergi meninggalkan Alam Surambi Sungai Pagu dan ‘lari’ dari kampung, Kepemimpinan Suku Melayu dipegang oleh Bagindo Saripado. Beliau merantau ke daerah Pesisir Selatan di Ampiang Parak. Selama ditinggalkan Alam Surambi Sungai Pagu menjadi suram dan tiadak aman, padi indak manjadi, taranak indak bakambang. Siapo nan bagak, nan bakuaso, sering terjadi perkelahian antar kampung, perampokan dimana-mana.

Maka dalam kondisi yang sulit tersebut barulah sadar Raja yang bertiga bahwa mereka telah membuat suatu kesalahan yang sangat fatal, telah menganggap enteng dan meremehkan Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang dinobatkan oleh Raja Alam Minangkabau di Pagaruyuang. Akhirnya sepakatlah mereka untuk menjemput Raja Alam Surambi Sungai Pagu yang bergelar Daulat Yang Dipertuan Tuanku Rajo Disambah ke perantauan untuk kembali menduduki Singgasana di Alam Surambi Sungai Pagu, dengan mengirim utusan Sutan Rajo Mamat dari suku Durian ke Ampiang Parak memohon agar Daulat Yang Dipertuan kembali ke Alam Surambi Sungai Pagu untuk memimpin anak kemenakan di Alam Surambi Sungai Pagu.

Setelah beliau kembali memimpin dengan sendirinya alam menjadi baik,
Padi manjadi,
Jaguang maupieh,
taranak bakambang
masyarakat aman sentoso, karena …
Rajo nan Barampek duduak basamo,
saiyo sakato untuk memimpin Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.

saciok bak ayam,
sadanciang bak basi,
kahilia sahantak galah,
kamudiak sarangkuah dayuang,
saiyo, satido,
saraso sapareso,
sahino samalu.

Di Banuaran kampung yang ditinggalkan oleh Inyiek Samsudin Sadewano yang telah dinobatkan sebagai seorang Raja di Alam Surambi Sungai Pagu, maka ditanamnya seorang wakil untuk memimpin anak kemenakannya di Banuaran (Alam Pauah Duo Nan Batigo) yaitu Bagindo Sultan Besar bersama Datuak Rajo Mulia (tak rajo kaganti rajo). Berdampingan dengan Penghulu yang lainnya memimpin masyarakat di Alam Pauah Duo nan Batigo.

BANUARAN dalam KABA/TAMBO ALAM SURAMBI SUNGAI PAGU

“Banamo Kampuang Banuaran, yaitu Kampuang nan Tatuo dalam Alam Surambi Sungai Pagu, kedudukan Daulat maso dahulu, mulo mandapek di Kualo Banda Lakun, datang dari hilir Batang Hari nan mamudiakkan Batang Bangko,
Banuaran Kotonyo Tuo,
tampek Inyiak Syamsudin Sadewono,
kebesaran tidak dijago alamat hancua kasudahannyo,
nan tuo Puti Lipur Jajak, Babungka Ameh duo baleh tail,
pandai batenggang di nan tidak wakatu lapang jaan jaie,

Diduduki wakil baliau sasudah pindah ka Kampuang Dalam, yaitu Bagindo Sultan Besar (?), memakai fungsi Daulat Tak Rajo Kaganti Rajo, didampingi Datuak Rajo Mulia yang memuliakan kebesaran Daulat tampek ba iyo jo batido, melaksanakan amanat dari Daulat, mamegang pitaruah dari Daulat, satitiak jadikan lauik, sabingka jadikan gunuang, pimpinan di Pauah Duo nan Batigo, melayiakan Perahunya masing-masing nan dimuek oleh ka ampek suku, kok satantang Bagindo Sutan Besar lambang di Pauh Duo nan Batigo, Nan Mamakai Tambilang nan Ampek, timbalan di Rajo Nan Barampek, nan Ba-sampin Ba-urang Gadang, Nan ba-manti ba-ampang Limo. Basa Ampek Balai di Pagaruyuang, Bagindo Sutan Besar sarato Datuk Rajo Mulia dan Datuk Bagindo Mudo, Kaampek Datuak Rajo Nan Baso yaitu Urang Nan Satu Rumpun,

Kok Nan Tuo Datuk Rajo Mulia pucuak dari ampek buah Paruik, Kok Timbuah silang jo sangketo dan tumbuah jalan basaluran, kato pulang kapado pimpinan, kok satantang tambilang nan ampek nan duduk di pintu nan ampek, manjago kunci jan ta kilie, manjago pintu nak janngan kupak, lalok jangan kamalingan lupo jangan katinggalan, kok tagaknyo barampek gentang kok duduknyo batingkek barih, adat limbago kok di tuang, satitiak jangan di bari, baitu tibo di lantai tuo, ka pa angguakkan Daulat Nan Dipataruahkan kapado kamanakan Baliau Nan bagala Bagindo Sutan Besar (?), Pimpinan Pauah Duo Nan Batigo, Payuang Panji Kampek Suku.

Pihak di camin taruih, pamandang adat jangan rusak paliek barih jaan hilang, pancaliak pusako jaan lanyok, papatah sudah mangatokan, tibo di cupak samo kito lili tibo di undang kito karasi, hulu tidak ba muaro lai, di siko kusuik indak salasai – Ikolah kaguno camin oleh suntiang pamenan, pandang taruih dinan batin baliak jajak itu dari pauah duo nan batigo sataruihnyo kapado kaampek suku.

Kok satantang di tiang panjang, panjang di adat jo limbago panjang barih jo pusako, kok kaateh tarmbun jantan sampai ka pucuak ubun-ubun, kok kabawah takasiak bulan sampai kakarang nan bajojo,
di lipek batang langkueh
di ambiak pamasak samba lado
ingek-ingek tuan di ateh
nan di bawah kok manimpo.

Kok tibo di lantak tuo, lantak tuo di Lasuang Batu – Rukun jo Sarat kalau talupo, alamat nan di angan indak kan lalu. Adopun ka ampek suku nan duduk di Kampuang Kapau. Bilo kito indak sauku – alamat rundiang manjadi kacau-balau, ikolah tapatan Rajo mandatang dari Ranah Pasia Talang, Sasampai maliek ulayat masiang-masiang.
Kok Pauah Duo Nan Batigo, Rajo dalam cancang latiahnyo nan mampunyai parahu nan kokoh nan di muek oleh kaampek suku, yaitu Cancang Latiah Di Pauah Duo, Nan di pakai di ampek suku, baitulah suri kito tanuni, kok bunjai samo kito ulasi”

SUSUNAN PENGHULU DI ALAM PAUAH DUO NAN BATIGO.

A. Tigo Lareh
a). Datuak Rajo Lelo (Muncak Suku )
b). Datuak Rajo Mantari (Camin Taruih)
c). Datuak Panggao
d). Datuak Bando Labiah
e). Datuak Bagindo Sutan (Kampai)

B. Sikumbang
a). Datuak Samad Dirajo (Muncak Suku )
b). Datuak Sampono
c). Datuak Jo Indo

C. Malayu Ampek Nyinyiak Limo jo Panai
1. Malayu
a) Datuak Rajo Nan Baso (Muncak Suku )
b) Datuak Sutan Khalifatullah
2. Koto Kaciek
a) Datuak Rajo Malin
b) Datuak Rajo Tawakkal
c) Datuak Rajo Satie
d) Datuak Tandewano
e) Datuak Angkat Suridirajo
3. Bariang
a) Datuak Tan Bagampo
4. Durian
a) Datuak Rajo Nan Kato
b) Datuak Rajo Idin
c) Datuak Rajo Nan Peta
5. Panai
a) Datuak Rajo Nando
b) Datuak Jano Katik
c) Datuak Rang Kayo Gadang
d) Datuak Rajo Parang
e) Datuak Indo Mangkuto
f) Datuak Alang Palaba (Panjago Bateh Alam Pauah Duo – di Air Batu)

D. Urang Bano ka Ampek Suku
I. 1. Datuak Rajo Aceh) (Malayu – Muncak Suku)
2. Datuak Rajo Aceh) (Malayu – Muncak Suku)
3. Datuak Rajo Biaro (Malayu)
4. Datuak Sutan (Malayu)
5. Datuak Rang Kayo Batuah (Koto Kaciek)
6. Datuak Rajo Laie (Koto Kaciek)
7. Datuak Tandewano (Koto Kaciek)
8. Datuak Mudo (Bariang)
9. Datuak Sati (Bariang)
10. Datuak Rajo Idin (Durian)

II. 1. Datuak Bando Besar (Panai Tigo Ibu – Muncak Suku )
2. Datuak Jano Katik
3. Datuak Nan Kayo Besar

III. 1. Datuak Rajo Indo (Tigo Lareh – Muncak Suku )
2. Datuak Panggao
3. Datuak Rajo Mantari
4. Datuak Bando Sati
5. Datuak Patieh
6. Datuak Rajo Genggang
7. Datuak Rajo Indo Bumi (Sikumbang)
8. Datuak Mangguang (Sikumbang)

IV. 1. Datuak Saidano (Kampai – Muncak Suku )
2. Datuak Inyiak Saidano
3. Datuak Rajo Kampai

E. Nan Batujuah di Lasuang Batu
Datuak Cumano (Malayu – Muncak Suku)
a). Datuak Marajo (Malayu)
b). Datuak Rajo Ampasang (Malayu)
c). Datuak Rajo Satieh (Koto Kaciek)
d). Datuak Rajo Antoso (Durian)
e). Datuak Gunuang Ameh (Durian)
f). Datuak Rajo Parang (Bariang)
g). Datuak Rajo Ampek Suku (Panai)

F. Urang Malayu Kampuang Dalam
Datuak Rajo Mulia (Pucuak Pimpinan Urang Malayu Kampuang Dalam- Indak Rajo Ka Ganti Rajo di Alam Pauah Duo nan Batigo)
a). Datuak Bagindo Mudo (Melayu)

Sumber :
1. Tutur, Carito dari Jamal Abdul Nasir, A.MA, Dt. Rajo Mantari, Camin Taruih di Alam Pauah Duo nan Batigo
2. Tutur, Carito dari Tabrani. Dt. Rajo Mulia Tak Rajo ka Ganti Rajo di Alam Puah Duo nan Batigo
3. Masyarakat umum di Alam Pauah Duo nan Batigo
4. Buku Alamat IKASUPA Jakarta, Titian Rantau.

Biografi Singkat :
Ir. Gamal Yusaf, St. Batuah. Lahir di Pakan Salasa, 17 Pebruari 1963 yang lalu. Sekolah Dasar di SD 01 Pakan Salasa kemudian SMP Negeri 1 Muaralabuh dilanjutkan ke SMA Negeri 1 Muaralabuh. sehingga menamatkan Sarjana Teknik Sipil di ISTN Jakarta. Selama di Jakarta aktif berorganisasi, a.l : Pengurus KMM Istana Jaya (Korkom ISTN) 1988 dan KMM Jaya 1992. Aktif di Organisasi Kemasyarakatan IKASUPA Jakarta (Ikatan Keluarga Alam Surambi Sungai Pagu) sampai sekarang, BK3AM – JAKARTA (Badan Koordinasi Kemasyarakatan dan Kebudayaan Alam Minangkabau), HASS (Himpunan Alumni SLTA Se Indonesia). Sekarang Aktif dalam pengelolaan SANGGAR TARI SYOFYANI – IKASUPA JAKARTA.

* BKSNT = Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
** Brigjend Purn. (TNI) H. Armein Ahmad, Dt. Nan Bakupiah
*** Zulkarnain, Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah
**** Camin Taruih, berfungsi sebagai : Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito, Nara sumber tentang Adat dan Budaya di Alam Pauah Duo.