Sejarah sebagai peristiwa memang tidak bisa diulang, tapi roh dan semangat yang ada di dalamnya selalu bisa diperbaharui atau di pupuk untuk dipergunakan sesuai dengan kondisi kemajuan peradaban masa kini. Sejarah tentu meninggalkan bekas yang bisa ditelusuri, “Adat ba jajak basuri bak sipasin”. Ada beberapa metode penulisan sejarah, antara lain dengan pembagian babakan waktu berdasarkan, Peradaban, seperti, zaman Batu, zaman, Perunggu, zaman Atom dan zaman Milenium. Berdasarkan perkembangan Agama, berdasarkan keberadaan keluarga Raja – Raja yang berkuasa (metode  Parawanca). Jadi kalau kita membaca sejarah kita harus bisa membedakan kurun waktu peristiwanya. Contoh kurun waktu Negara Indonesia, ada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Zaman Reformasi, kalau berbicara tentang Presiden Sukarno berarti peristiwanya terjadi zamannya orde lama, sedangkan kalau bicara tentang Presiden Suharto berarti zaman orde baru.

Sejarah Muarolabuah – Sungai Pagu dibagi atas tiga babakan waktu dengan metode Parawanca  berdasarkan keberadaan keluarga Rajo – Rajo yang pernah bertahta, yaitu :

1.  SITATOK-SITARAHAN, SIANYA-SIPILIHAN, wilayah kekuasaannya disebut KUALO BANDA LAKUN.

2.  INYIEK NAN SALAPAN, wilayah kekuasaannya disebut  MALAYU SUNGAI PAGU.

2.1. Dewang Majoano

2.2. Dewang Duwano Gajagilo.

2.3. Inyiek Parendangan.

3. INYIEK KURANG ASO 60, wilayah kekuasaanya disebut ALAM SURAMBI SUNGAI PAGU.

3.1.Rajo Nan Barampek.

(I). Kelompok Sitatok Sitarahan – Sianya Sipilihan, Sitatok Sitarahan adalah Raja sedangkan Sianya Sipilihan adalah Dubalang Panglima Perangnya. Sungai Pagu dinamakan Kualo Banda Lakun, Dari mana asal usul kedatangannya ke Sungai Pagu tidak ada datanya, kalau dalam sejarah daerah lain kelompok ini terkenal dengan sebutan Urang Rupit, kalau melihat dari namanya bisa jadi kelompok ini berasal dari daerah Rupit – Musi Rawas Sumatera Selatan. Peradaban mereka masih terbelakang, digambarkan dalam pepatah adat, Ba Kuruak bak Anggang, Ba Katuban bak Limbek, ba Gigi tajam baliak, ba Sanggu manyaronsong, pa Luka pa Ningkalak, Pandandam pa Nyaruduak, ba piaraan kijang hutan. Bakuruak bak Anggang dan ba Katuban bak Limbek, artinya belum memiliki rumah tempat tinggal tetap, masih tinggal di gua-gua batu. Ba gigi tajam baliak, basanggu manyaronsong, menggambarkan kondisi perawatan tubuhnya. Pa Luka pa Ningkalak artinya menggambarkan kebiasaannya sehari hari menangkap ikan. Pandandam panyaruduak menggambarkan karakter tabiatnya. Wilayahnya dinamakan Kualo Banda Lakun dan pemukiman kelompok ini di sebut Kampuang Nan Limo, meliputi : Tabiang Tenggi, Taratak Paneh, Lompatan, Balun, dan Gaduik. Kelompok ini berperang dengan kelompok Inyiek Kurang Aso 60 yang datang kemudian ke Sungai Pagu, ahkirnya mereka menyingkir ke pedalaman Jambi menjadi bagian suku Kubu, ke tanah Tandok tanah Tandang Pesisir Selatan dan terus menyingkir kepulauan Mentawai, di Mentawai sampai saat ini masih bisa kita temukan orang orang yang bertato badannya keturunan dari kelompok Sitatok Sitarahan.

(II). Kelompok Inyiek Nan Salapan, adalah rombongan kelompok yang pimpinan rombongannya terdiri dari :

1. DEWANG MAJOANO, pimpinan kelompok.

2. RAMANG HITAM.

3. RAMANG PUTIAH.

4. RATU SAREK.

5. INDALAN/Andali, asal usul keturunan suku Koto Kaciak

6. KUMBO, asal usul keturunan suku Bariang.

7. BA’ANI, asal usul keturunan suku Durian.

8. CANDAI ALUI, asal usul keturunan suku Malayu 4 Paruik.

Sebelum kelompok Inyiek Nan Salapan ini sampai di Sungai Pagu telah sampai lebih dahulu rombongan kelompok Inyiek Urang Pauah Duo Nan Batigo dan bermukim di Batang Marintieh Mudiak, kelompok ini datang dari Tebo dan Musi dan seorang datang dari Pasimpai antara Jujuan dan Batanghari. yaitu:

1. SAMIEK

2. SAMILU AYIE

3. SIKOK MARAJOLELO, sebagai Dubalang.

Kelompok gelombang ke dua ini datang dari Sungai Singkut daerah yang terletak antara Musi dan Tebo Jambi. Mereka datang ke Sungai Pagu dari arah hilir memudiki Sungai Batang Hari, menetap sementara di Batang Jujuan, sesampai di pertemuan dua sungai Batang Bangko dan Batang Suliti, terlihat air Batang Suliti kondisinya keruh, pertanda telah ada orang yang bermukim di daerah alirannya, perjalanan diteruskan memudiki Sungai Batang Bangko sampai di Kapau – Banuaran dan menetap disitu (dalam kamus bahasa Minangkabau – Indonesia oleh Abdul Kadir Usman, Dt. Yang Dipatuan th 2002, Banuaran artinya Tanah Asal Nenek Moyang).

Kemudian membuka pemukiman di Pasirtalang dan sekitarnya, yang terdiri dari beberapa Korong (lingkungan yang dihuni oleh satu suku), meliputi : Sipanjang, Sirampak, Koto Kaciak, Malayu, Sawah Lawe dan Koto Lundang. Pada masa pemerintahan Dewang Duwano Gajagilo, Rajo ke tigo dilakukan perluasan perkampungan dan lahan pertanian sawah melalui Lambai Hari atau Gotong Royong ke Sawah Lawe dan Batang Lawe.

Di era pemerintahan Raja ketiga Inyek Parendangan pusat pemerintahan dipindahkan ke Tanjuang Malego – Muarolabuah dan dilakukan perluasan wilayah kekuasaan sampai ke Rantau XII Koto – Sangir, Gunung Medan, Rejang Lebong dan Muko Muko.

(III). Kelompok Inyek Kurang Aso 60, adalah percampuran antara kedua kelompok yang datang terlebih dahulu ke Sungai Pagu, dan dimasa kekuasaan Inyiek Parendangan sudah mulai berdatangan orang – orang dari Pariangan dan Luak Nan Tigo. Dan pada era kelompok Inyiek Kurang Aso 60 inilah berdiri Alam Surambi Sungai Pagu dipimpin oleh Rajo Nan Barampek, pusat pemerintahan adat berada di Kampuang Dalam Pasir Talang, wilayahnya terdiri dari: 1. Kapalo Koto Kapau, Koto Birah, Koto Baringin, Koto Parik Gadang Di Ateh, Koto Langang dan Koto Di Bawuah, Koto Di Bawuah belakangan menjadi Nagari Koto Baru. Semua Koto ini adalah bekas pemukiman kelompok Sitatok Sitarahan.

2. Luak Nan Tujuah.

3. Rantau Pasisie Banda Sapuluah.

1. TUANKU RAJO DISAMBAH, sebagai Daulat Rajo Alam dari suku Malayu.

2. TUANKU RAJO BAGINDO, sebagai Rajo Adat dari suku Kampai.

3. TUANKU RAJO BATUAH, sebagai Rajo Ibadat dari suku Panai.

4. TUANKU RAJO MALENGGANG, sebagai Rajo Parik Paga/ Ampang Limo dari suku Tigo Lareh.

SAMSUDIN SADEWANO, adalah Daulat Rajo Alam Sungai Pagu yang pertama bergelar ‘’ Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah ‘’ sebagai penyambung gelar terdahulu ‘’Bagombak Putiah Bajangguik Merah’’.

Wilayahnya meliputi dari Balun babatu hilir, sampai ka ranah Pasirtalang, tarui ka Languang jo Koto Baru sampai ka Batang Marintieh Mudiak di Pauah Duo, tarui ka Luak Nan Tujuah, Sungai Cangkar, Mudiak Lawe, Sipotu, Lolo- Alai, Sawah Siluak, Sungai Talu, dan Sungai Durian dan tarui ke Pasisie Banda Nan Sapuluah, Air Haji, Sungai Tunu, Palangai, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, dan Bungo Pasang Salido.

Pada periode kurun waktu pemerintahan adat Alam Surambi Sungai Pagu inilah datang Belanda dan menjajah di wilayah adat Sungai Pagu mulai tahun 1876 M, juga Indonesia merdeka, dan Lembaga Adat sebagai Tradisi yang masih digunakan sampai saat ini di Sungai Pagu adalah hasil Cancang latiah, Tambang taruko INYIEK KURANG ASO 60.

Sejarah keberadaan ASSP ini digambarkan dalam upacara adat “Turun ke Sawah Mambantai Kabau Nan Gadang di Pasirtalang’’. Kerbau yang dibantai berasal dari Pauah Duo sebagao tanah asal, yang menentukan jenis kerbau yang akan dibantai Penghulu dari Parik Gadang di Ateh sebagai kekuasaan Rajo Adat, sedangkan pembagian dagingnya, Kepala dan setandan Ekornya untuk Daulat sebagai Rajo Alam, dan daging kerbau dibagi 5 bagian, terdiri dari sebagian untuk Penghulu di Pauah Duo dan empat bagian dibagikan kepada Penghulu ke empat Suku Induk yang ada di Sungai Pagu.

Pada acara ritual tradisi Mambantai Kabau Nan Gadang tersebut juga dibacakan larang pantang yang diberlakukan selama musim ke sawah.

HH422021 | Ir. Hasmurdi Hasan